DAFTAR ISI
1. Al-Qism al-awwal Ushul al-Fiqh 1
2. Al-Ahkam 2
3. Al-Mabhats al-awwal fiy al-Amr 4
4. Al-Mabhats al-tsani fiy al-Nahyi 5
5. Al-Mabhats al-talits fiy al-'Am 7
6. Al-Mabhats al-al-rabi' fiy al-Khas wa al-Takhshis 8
7. Al-Mabhats al-khamis fiy al-Naskh 12
8. Al-Mabhats al-sadis fiy al-Mujmal 15
9. Al-Mabhats al-sabi' fiy al-Muthlaq wa al-Muqayyad 16
10. Al-Mabhats al-tsamin fiy al-Mafhum wa al-Mantuq 17
11. Al-Mabhats al-tasi' fiy Fi'l shahib al-syari'ah 19
12. Al-Mabhats al-'asyir fiy Iqrar shahib al-syari'ah 20
13. Al-Mabhats al-hadiy 'asyara fiy al-Ijma' 21
14. Al-Mabhats al-tsani 'asyara fiy al-Qiyas 22
15. Al-Mabhats al-tsalits 'asyara fiy al-Ijtihad, al-Ittiba', al-Taqlid 23
16. Al-Qism al-tsani Qawa'id al-Fiqh 25
17. Kaidah ke-1 25
18. Kaidah ke-2 25
19. Kaidah ke-3 25
20. Kaidah ke-4 26
22. Kaidah ke-6 27
21. Kaidah ke-5 26
23. Kaidah ke-7 27
24. Kaidah ke-8 27
25. Kaidah ke-9 28
26. Kaidah ke-10 28
27. Kaidah ke-11 28
28. Kaidah ke-12 29
29. Kaidah ke-13 30
30. Kaidah ke-14 30
31. Kaidah ke-15 30
32. Kaidah ke-16 31
33. Kaidah ke-17 31
34. Kaidah ke-18 31
35. Kaidah ke-19 32
36. Kaidah ke-20 32
37. Kaidah ke-21 33
38. Kaidah ke-22 33
39. Kaidah ke-23 33
40. Kaidah ke-24 34
41. Kaidah ke-25 34
42. Kaidah ke-26 35
43. Kaidah ke-27 35
44. Kaidah ke-28 35
45. Kaidah ke-29 36
46. Kaidah ke-30 36
47. Kaidah ke-31 37
48. Kaidah ke-32 37
49. Kaidah ke-33 37
50. Kaidah ke-34 38
51. Kaidah ke-35 38
52. Kaidah ke-36 38
53. Kaidah ke-37 39
54. Kaidah ke-38 39
55. Kaidah ke-39 39
56. Kaidah ke-40 40
BAGIAN AWAL
USHUL FIQH
Asal (al-ashlu) secara bahasa adalah
sesuatu yang menjadi sandaran. Seperti akar yang menjadi dasar
tumbuhnya sebuah pohon dan ushul al-fiqh yang menjadi pondasi fiqh.
Sedangkan cabang (al-far') adalah sesuatu yang dididrikan diatas
sesuatu yang lain. Seperti cabang-cabang pohon (batang dan lainnya)
yang berdiri diatas akarnya, dan fiqh yang berdiri diatas ushul-nya.
Menurut
istilah asal adalah dalil dan kaidah kulliyat. Seperti perkataan
ulama' bahwa dasar wajibnya shalat adalah al-Kitab (al-Quran).
Maksudnya dalil yang mewajibkan shalat adalah al-Quran. Allah berfirman
dalam QS. al-Baqarah (2): 43.
yang Artinya : “….dan dirikanlah shalat…”
Pendapat
ulama' yang menyatakan diperbolehkannya memakan bangkai dalam kondisi
darurat (emergency), adalah bertentangan dengan kaidah kulliyat yang
berbunyi; "kullu mayyitah harām" artinya : setiap bangkai haram
hukumnya. Kaidah ini bersumber dari firman Allah SWT. Yang berbunyi :
" " انما حرم عليكم الميتة
Ushul
fiqh merupakan dalil fiqh global. Seperti kemutlakan amr (perintah)
menunjukkan makna wajib, mutlaknya nahi (larangan) menunjukkan
keharaman, mutlaknya perbuatan Nabi (af'al al-Nabi), mutlaknya ijma',
dan mutlaknya qiyas yang kesemuanya itu merupakan hujjah.
lafal
“fiqh” dalam bahasa Arab mempunyai arti faham (al-fahm). Sedangkan dalam
terminologi syar'iy, fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syari'at yang
diperoleh dengan jalan ijtihad. Seperti mengetahui bahwa niat dalam
wudhu merupakan suatu kewajiban, dan berbagai permasalahan lain yang
masuk dalam ranah ijtihadiyah. Fiqh, berbeda dengan hukum-hukum syari'at
yang diketahui tanpa menggunakan metode ijtihad. Seperti mengetahui
bahwa shalat lima waktu adalah wajib, perbuatan zina adalah haram, dan
berbagai permasalahan lain yang ditetapkan dengan dalil qath'iy. Ilmu
seperti ini tidak dinamakan fiqih.
Sedangkan ilmu (العلم) adalah
sifat yang dengannya sesuatu yang di kehendaki bisa diketahui dengan
sempurna. bodoh (الجهل) adalah tidak adanya pengetahuan akan sesuatu
perkara. Dzan (الظن) adalah menilai sesuatu yang lebih kuat dari dua
perkara. Wahm (الوهم) adalah menemukan sesuatu yang kurang kuat dari dua
perkara. Syak (الشك) adalah menemukan persamaan pada dua perkara.
Keraguan
yang timbul tentanga antara apakah seseorang bernama Zaid sedang
berdiri atau tidak yang sama-sama kuat dinamakan syak, jika lebih unggul
salah satunya dinamakan dzan, dan ketika mengunggulkan salah satu
antara keadaan Zaid sedang berdiri atau tidak sedang berdiri dinamakan
wahm. Dalam kaitan ini, ilmu dalam pengertian fiqih mengandung
pengertian dzan (prasangka). Maksudnya, sebagaimana dalam pembahasan
selanjutnya, akan diketemukan adanya kaidah yang menyatakan bahwa produk
ijtihad sebagai salah satu mekanisme metode penggalian hukum dalam
islam masuk dalam kategori zdanniy (prasangka) dan bukannya qath'iy
(pasti).
PEMBAGIAN HUKUM SYARI'AT
Al-Ahkam
al-Syar’iy (hukum-hukum syariat) dibagi menjadi sembilan, yaitu:
wajib, mandub, mubah, haram, makruh, sahih, bathil, rukhshah dan
'azimah. Adapun definisi masing-masing sembilan hukum tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Wajib, yaitu sesuatu yang apabila
dikerjakan akan diberi pahala dan ketika ditinggalkan akan disiksa.
Seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.
2. Mandub,
yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan akan diberi pahala dan apabila
ditinggalkan tidak akan disiksa. Seperti shalat tahiyat masjid.
3. Haram,
yaitu sesuatu yang apabila ditinggalkan akan diberi pahala dan apabila
dikerjakan akan disiksa. Seperti riba dan melakukan kerusakan.
4. Makruh,
yaitu sesuatu yang diberi pahala apabila ditinggalkan, tapi tidak
disiksa apabila dikerjakan. Seperti mendahulukan bagian yang kiri dalam
wudhu.
5. Mubah, yaitu sesuatu yang apabila ditinggalkan dan dikerjakan tidak mendapat pahala dan siksa. Seperti tidur siang hari.
6. Shahih, yaitu sesuatu yang didalamnya mencakup rukun dan syarat.
7. Bathil, yaitu sesuatu yang didalamnya tidak mencakup rukun dan syarat.
Rukun
adalah sesuatu yang menyebabakan sahnya sesuatu (pekerjaan) dan ia
merupakan bagian (juz) dari sesuatu (pekerjaan) itu. Seperti membasuh
wajah dalam berwudhu dan takbiratul ihram dalam shalat. Adapun syarat
adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu (pekerjaan), namun ia
bukanlah bagian (juz) dari sesuatu (pekerjaan) tersebut.
8. Rukhshah,
yaitu perubahan hukum dari berat menjadi ringan, sedangkan sebab hukum
asalnya masih tetap. Seperti diperbolehkannya membatalkan puasa bagi
musafir meskipun ia tidak merasa keberatan untuk melanjutkan puasanya.
Dan diperbolehkan memakan bangkai bagi orang yang terpaksa.
9. ‘Azimah, yaitu hukum seperti kewajiban shalat lima waktu dan haramnya memakan bangkai bagi yang tidak terpaksa.
Pembahasan Ke - 1
AL-AMR
Al-Amr
(perintah) yaitu tuntutan untuk mengerjakan dari atasan kepada
bawahannya. Dalam pembahasan amr ini terdapat beberapa kaidah sebagai
berikut :
1. Perintah (amr) pada dasarnya menunjukkan wujub, kecuali ada dalil yang menunjukkan selainnya.
Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2): 43.
Artinya: “…dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…”
2. Perintah (amr) pada dasarnya tidak memiliki konsekuensi pengulangan, kecuali ada dalil yang menunjukkan selainnya.
Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2):196.
Artinya : “…dan sempurnakanlah haji dan umroh karena Allah…”
3.
Perintah (amr) pada dasarnya tidak memiliki konsekuensi untuk segera
dikerjakan. Tujuan amr (perintah) adalah terwujudnya suatu pekerjaan
tanpa adanya pengkhususan dengan waktu awal.
4. Perintah (amr)
terhadap sesuatu berarti juga perintah kepada hal-hal yang menjadi
wasilah (medium) timbulnya sesuatu tersebut.
Contoh perintah shalat berarti perintah untuk bersuci.
5. Perintah terhadap sesuatu berarti larangan (nahi) terhadap hal-hal yang berlawanan dengan sesuatu tersebut.
Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2):83.
Artinya : “….dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia...”
6.
Ketika suatu perintah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya
maka orang yang dikenai perintah telah terbebas dari ikatan (perjanjian)
amr tersebut. seperti ketika seseorang yang tidak menemukan air (untuk
wudhu) kemudian tayamum dan mengerjakan shalat, maka ia tidak wajib
qadha (mengulang) shalat ketika menemukan air.
Pembahasan Ke - 2
AL-NAHY
Al-Nahy
(larangan) adalah tuntutan untuk meninggalkan (suatu pekerjaan) dari
atasan kepada bawahannya. Pembahasan larangan (al-nahy) meliputi
beberapa kaidah sebagai berikut:
1. Larangan (al-nahy) pada dasarnya menunjukkan keharaman (sesuatu yang dilarang), kecuali adanya petunjuk (dalil) sebaliknya.
2.
Larangan (al-nahy) akan suatu hal (dapat diartikan sebagai) perintah
akan hal-hal yang berlawanan atau kebalikan dari yang dilarang. Allah
berfirman QS. al-Baqarah (2):188.
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui.”
3. Larangan (al-nahy) pada dasarnya
menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang dalam ibadah. Seperti shalat
dan puasanya perempuan yang haidh.
4. Larangan (al-nahy) pada
dasarnya menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang dalam muamalah. Hal
ini terjadi ketika larangan itu dikembalikan kepada kondisi akad (nafs
al-'aqd), seperti bai' al-hashot (jual beli dengan cara melemparkan
batu kecil atau spekulasi). Namun ketika larangan itu dikembalikan
kepada sesuatu yang keluar dari transaksi (faktor eksternal) yang tidak
tetap, maka sesuatu yang dilarang tersebut tidak rusak. Seperti hanya
jual beli pada waktu adzan jum'at.
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Jum’ah (62):9.
Artinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”. (QS. al-Jum'ah 9).
Pembahasan Ke - 3
AL-'AM
Al-'ِِAm (العام) adalah sesuatu yang meliputi dua hal atau
lebih tanpa adanya batasan. Lafazd-lafazd yang digunakan untuk
menunjukkan makna 'am ada empat, yaitu:
1. Isim wahid (mufrod) yang di-ma'rifat-kan dengan huruf lam. Seperti QS. al-Ashr (103): 2-3.
Artinya : "Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian kecuali mereka yang beriman…"
2. Isim jama' yang di-ma'rifat-kan dengan huruf lam. Contoh QS. al-Baqarah (2):195.
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.”
3. huruf la yang me-nafi-kan pada isim nakiroh. Contoh QS. al-Baqarah(2): 48.
Artinya: “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari
itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan
(begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan
tidaklah mereka akan ditolong.”
4. Isim-isim mubham
a) Lafal “من“ bagi sesuatu yang berakal. Contoh firman Allah QS. al-Zalzalah (99): 7.
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
b) Lafal ما bagi yang tidak berakal. Contoh firman Allah QS. al-Hujarat (49): 18.
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
c) Lafal ايٌّ. Contoh :
Artinya: “Dimanapun kamu berada kematian akan mendapatkan kamu…”
e) Lafal متىyang menunjukkan zaman. Contoh :
Pembahasan Ke - 4
AL-KHAS DAN AL-TAKHSHIS
Al-khas
(الخاص) adalah sesuatu yang tidak mengandung dua makna atau lebih
tanpa adanya batasan. Sedangkan al-takhshish (التخصيص) adalah
mengeluarkan sebagian yang ditunjukkan 'am. Takhshis dibagi menjadi
dua, yaitu; takhshis muttashil (bersamaan) dan takhshis munfashil
(terpisah).
Macam-macam takhshis muttasil :
1) Pengecualian (al-Istisna'). Contoh: QS. al-‘Ashr (103): 2-3.
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian kecuali mereka yang beriman…”
2) Pembatasan (al-taqyid) dengan sifat. Contoh firman Allah SWT dalam QS. al-Nisa' (4): 96.
Artinya: “(Hendaklah) Ia memerdekakan seorang hamba yang beriman…”
3) Pengecualian dengan dengan batas (ghayah). Contoh QS. al-Baqarah (2): 222.
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…”
4) Pengecualian dengan pengganti (badal). Contoh QS. Ali ‘Imron(3): 97.
Artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...”
Macam-macam takhshish munfashil:
1) Pengecualian al-kitab (al-Qur’an) dengan al-kitab (al-Qur’an). Firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah (2): 221.
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik…”
ayat ini ditakhsis dengan Firman Allah SWT dalam QS. al-Maidah (5): 5
اArtinya:
“Pada hari ini dihalalkan –sampai pada firman Allah ta'ala- Dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang di beri
al-kitab sebelum kamu…”
2) Pengecualian al-kitab (al-Qur’an) dengan al-sunah (al-Hadits). Firman Allah dalam QS. al-Nisa' (4):11.
Artinya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pustaka untuk)
anak-anakmu, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan…”
Ayat diatas mengandung pengertian bahwa yang mendapat
waris termasuk anak kafir tapi ayat tersebut ditakhsis dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:
لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم
Artinya:
“Seorang anak muslim tidak mendapatkan warisan dari orang tua kafir
dan anak kafir tidak mendapatkan warisan dari orang tua muslim.”
3)
Pengecualian al-Sunnah (al-Hadits) dengan al-Kitab (al-Qur’an). Seperti
hadits riwayat Bukhari Muslim yang menerangkan bahwa Allah SWT tidak
akan menerima shalat seseorang yang masih dalam keadaan hadats sampai
dia berwudhu.
لا يقبل صلاة احدكم اذا احدث حتى يتوضأ
Artinya : Allah tidak menerima shalat kalian, ketika berhadast sehingga kalian berwudhu.
Hadits ini di takhsis dengan firman Allah QS.al-Nisa' (4): 43.
Artinya: “Dan jika kamu sakit –sampai pada firman Allah- kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah…”
4) Pengecualian al-Sunnah (al-Hadits) dengan al-Sunnah (al-Hadits). Contoh hadits Riwayat Bukhari dan Muslim:
فيما سقت السماء العشر
Artinya: “Setiap (zar') yang disirami dengan air hujan zakatnya sebesar seper sepuluh.”
Hadits ini ditakhsis dengan hadits riwayat Bukhori dan Muslim :
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة
Artinya: “Setiap (zar') yang kurang dari lima wasaq tidak ada zakat.”
5) Pengecualian al-kitab (al-Qur’an) dengan Qiyas. Contoh QS. al-Nur (24):3.
Artinya: Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Ayat
tersebut di takhsis dengan ayat yang menerangkan hukum derap/jilid
terhadap budak perempuan (amat) yang hanya dijilid separuh dari
ketentuan ayat. Allah SWT. berfirman QS. al-Nisa' (4):25.
Artinya:
“Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami…”
Adapun untuk seorang budak (‘abd) di-qiyas-kan kepada amat yaitu setengah dari ketentuan yang telah disebutkan diatas.
6) Pengecualian al-Sunnah (al-Hadits) dengan al-Qiyas. Contoh sabda Rasulullah SAW. :
لي الواجد يحل عرضه ا وعقوبته رواه احمد وابن ماجه
Artinya: “Orang kaya yang berpaling dari membayar hutang maka halal kehormatan dan keperwiraannya “ (HR. Ahmad dan Ibn Majjah.)
Dikecualikan
dari ketentuan hadits diatas, yaitu orang tua yang menunda-nunda
membayar hutang pada anaknya meskipun sudah mampu untuk membayarnya.
Maka bagi orang tua yang berpaling dari membayar hutang tidak dihalalkan
kehormatan dan keperwiraannya karena dengan memakai qiyas awla tidak
diperbolehkannya mengucapkan kata-kata kasar kepada mereka yang telah
ditetapkan dalam QS. Al-Isra' (17):23.
Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"…”
Pembahasan Ke - 5
NASIKH DAN MANSUKH
Al-Nãsikh
(الناسخ) secara bahasa berarti menghilangkan, menghapus, atau
memindah. Dalam tinjauan syara', al-nãsikh adalah menghilangkan atau
membatalkan hukum syara' yang telah ditetapkan terdahulu dengan dalil
syara' yang baru. Al-Nãsikh menurut sebagian ulama' terbagi menjadi:
1) Menghapus tulisan (al-rasm) dan menetapkan hukum.
Contoh hadits Nabi SAW:
الشيخ والشيخة اذا زنيا فارجموهما البتة
Sahabat
‘umar RA berkata bahwa sesungguhnya kami telah membaca hadits dan
bahwasanya nabi SAW telah memberlakukan hukum ranjam terhadap dua orang
yang berzina muhshon. Maksud lafal محصنين dalam hadits diatas adalah
الشيخ والشيخجة
2) Menghapus hukum dan menetapkan tulisan (al-rasm).
Contoh QS. al-Baqarah (2): 240.
Artinya: Dan orang-orang yang akan
meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah
berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika
mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris
dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini di nasikh dengan QS. al-Baqarah (2): 234.
Artinya:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
3) Menghapus dua perkara (hukum dan tulisan) secara bersamaan.
Seperti hadits riwayat Muslim dari 'aisyah ra.
كان فِيما انزل عشر رضعات معلومات يحرمن
Hadits
yang menerangkan bahwa yang dapat menyebabkan haramnya sebuah
pernikahan sepuluh kali susushan yang diketahui ini kemudian dinasikh
dengan hadits yang menerangkan lima kali susuan yang mengharamkan:
بخمس معلومات يحرمن
Me-nasikh
al-Kitab (ayat Al-Quran) dengan al-Kitab (ayat al-Quran lain) juga
diperbolehkan, seperti dalam ayat tentang 'iddah perempuan sebagaimana
yang diterangkan diatas.
4) Menghapus al-Sunah dengan al-Kitab.
Seperti
menghadap Baitul maqdis dalam shalat yang ditetapkan dengan sunah
fi'liyah (perbuatan Nabi). Dalam hadits riwayat Bukhori Muslim
disebutkan "bahwasahnya Nabi SAW menghadap baitul maqdis dalam shalatnya
selama 16 bulan ". Hadits kemudian dinasikh dengan firman Allah QS.
al-Baqarah (2): 144.
Artinya:
“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langi, Maka
sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.”
5) Nasikh al-Sunah dengan al-Sunah. Seperti hadits riwayat imam Muslim:
كنت نهيتكم عن زيارة القبر فزورها
Artinya: “(dulu) Aku (Nabi) melarang kalian ziarah kubur. Maka (sekarang) Berziarahlah kalian. “
Sebagian
ulama' juga ada yang berpendapat tentang diperbolehkannya menasikh
al-kitab dengan al-sunah. Seperti firman Allah QS al-Baqarah :(2) 180,
Artinya: “Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
Ayat diatas dinaskh oleh sabda Nabi SAW:
لاوصية لورث رواه الترمذي وابن ماجه
Artiny: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. al-Tirmidzi dan Ibn Majjah.)
Pembahasan Ke - 6
MUJMAL DAN BAYAN
Mujmal (المجمل) adalah sesuatu yang membutuhkan penjelasan. Contoh seperti lafal قروء pada ayat:
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
karena ada persekutuan makna dalam lafal al-quru' maka memungkinkan lafal tersebut mempunyai arti haidh dan suci.
Bayan (البيان) adalah mengeluarkan sesuatu dari kondisi musykil kepada kondisi jelas. Bayan dibagi menjadi:
1)
Bayan (penjelas) dengan ucapan (bi al-qawl) seperti pada firman Allah
SWT. yang menerangkan puasa tamatu' QS. Al-Baqarah (2): 196.
Artinya:
“…Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila
kalian semua telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna...”
2) Bayan dengan perbuatan atau pekerjaan. seperti pekerjaan Nabi yang menjelaskan tata cara shalat dan lainnya.
3)
Bayan dengan tulisan (kutub). Seperti bayan akan kadar zakat, dan
diyat anggota badan sebagaimana yang telah dijelaskan Nabi SAW. melalui
hadits-haditsnya.
4) Bayan dengan isyarat, seperti isyarat nabi SAW
sambil menunjukkan semua jari tangan dalam satu isyarat “satu bulan
adalah seperti ini, seperti ini dan seperti ini. Maksudnya 30 hari.
Kemudian nabi memebrikan isyarat lagi dengan telapak tangannya sampai
tiga kali, dan pada urutan ketiga beliau tidak menunjukkan ibu jarinya
sebagai isyarat bahwa dalam bulan terkadang ada yang hanya sejumlah 29
hari.
Pembahasan Ke - 7
MUTLAQ DAN MUQOYYAD
Mutlaq
(المطلق) adalah lafal yang menunjukkan hakikat sesuatu hal tanpa
adanya batasan. Sedangkan muqoyyad (المقيد) adalah lafal yang
menunjukkan suatu hal dengan adanya batasan (taqyid).
Penting
diketahui bahwa apabila terdapat perintah (khithab) yang bersifat
mutlak atau umum, maka ia harus diberlakukan seperti keumumannya.
Begitupun ketika terdapat perintah yang dibatasi (muqoyyad) atau
bersifat khusus, maka ia harus diberlakukan berdasarkan kadar
pembatasan atau kekhususannya tersebut. Namun ketika perintah itu
bersifat mutlak pada satu sisi dan muqoyyad pada sisi yang lain, maka
sisi kemutlakannya harus ditangguhkan dan diberlakukan sisi
kekhususannya. Contohnya seperti lafal “roqobah” (budak) yang dibatasi
dengan sifat beriman dalam hal kafarat membunuh. Allah SWT berfirman
QS. al-Nisa' (4): 96.
Artinya : (Hendaklah) Ia memerdekakan seorang hamba yang beriman…
Dalam bagian lain, lafal roqobah berlaku umum seperti pada kafarat zhihar dalam firman Allah SWT QS. al-Mujadalah )58): 3.
Artinya: Orang-orang
yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Pembahasan Ke - 8
MANTUQ DAN MAFHUM
Mantuq
(المنطوق) adalah penunjukan lafal terhadap suatu hal (hukum) ketika
diucapkan, sedangkan Mafhum (المفهوم) adalah penunjukan lafal terhadap
hukum yang tidak diucapkan.
Pembagian Mantuq
1. Al-Nash. Yaitu lafal yang tidak mengandung takwil. Seperti firman Allah SWT. QS. al-Baqarah (2):196.
Artinya:
“…Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila
kalian semua telah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
2. Al-Zahir. Yaitu lafal yang mengandung takwil atau perlu takwil. Contohnya seperti firman Allah QS. al-Dzariyat (51):47.
Artinya: “Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa.”
Lafal
ايد adalah bentuk jamak dari lafal يد yang berarti tangan, dan hal itu
(tangan) mustahil bagi Allah SWT. Maka dari itu lafal ايد dalam ayat
tersebut dipalingkan ke makna القوة yang berarti kekuatan.
Pembagian Mafhum
1.
Mafhum muwafaqoh. Yaitu penunjukan hukum yang tidak disebutkan
mempunyai kesamaan dengan hukum yang diucapkan. Seperti pencegahan atau
larangan memukul kedua orang tua yang dapat dipahami dari firman Allah
QS. al-Isra' (17):23.
Artinya: “Dan Tuhanmu Telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Larangan membakar
(atau hal-hal yang sifatnya merusak) harta anak yatim yang dapat
dipahami dari firman Allah QS. al-Nisa' (4): 10.
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
2. Mafhum mukholafah.
Yaitu lafal yang disebutkan tidak sama dengan yang diucapkan. Contohnya
antara lain adalah sebagai berikut:
1) Tidak adanya kewajiban zakat bagi hewan yang digunakan untuk bekerja yang dipahami dari sabda Nabi SAW:
فى ساْيمة الغنام زكاة
Artinya: “Pada hewan-hewan yang digembalakan terdapat (wajib) zakat.”
2) Tidak adanya haji kecuali pada bulan-bulan tertentu yang telah masyhur dari pemahaman firman Allah QS. al-Baqarah (2):197.
Artinya: “Haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat
fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.
Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.”
3)
Diperbolehkannya jual beli pada hari Jum'at sebelum dikumandangkannya
azdan yang dipahami dari firman Allah QS. al-Jum'ah (62): 9.
Artinya: “Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Pembahasan Ke - 9
PERBUATAN NABI SAW.
Perbuatan
Nabi SAW. terkadang bersifat qurbah (ibadah taqorrub) dalam artian
taat dan kadang juga tidak bersifat demikian. Ketika perbuatan Nabi
bersifat taqorrub atau taat serta adanya dalil yang menunjukkan
kekhususan pada diri Nabi maka hal itu berlaku khusus untuk Nabi SAW.
Seperti memiliki istri lebih dari empat. Allah berfirman QS al- Nisa'
(4): 3.
Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sengangi dua, tiga, atau empat…”
Namun
ketika perbuatan Nabi SAW. tidak disertai dalil yang menunjukkan
kekhususannya pada diri Nabi SAW. maka perbuatan tersebut tidak berlaku
khusus pada Nabi SAW., tetapi juga meliputi umatnya. Alllah berfirman
QS. al-Ahzab (33): 21.
Artinya:
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum asal semua perbuatan
Nabi SAW. itu untuk diikuti kecuali ada dalil yang menunjukkan
kekhususan pada Nabi SAW. saja dalam suatu perbuatan.
.
Pembahasan Ke - 10
KETETAPAN NABI SAW.
Ketetapan
Nabi SAW. atas ucapan seseorang memiliki kedudukan yang sama dengan
ucapan Nabi SAW. sendiri. Begitu juga ketetapan Nabi SAW. atas pekerjaan
seseorang memiliki kedudukan yang sama dengan pekerjaan Nabi SAW. hal
itu karena Nabi SAW. bersifat maksum (terjaga) untuk mengakui perbuatan
ingkar seseorang. Contoh dari keterangan diatas adalah pengakuan Nabi
SAW. pada sahabat Abu Bakr RA. yang memberikan harta rampasan perang
orang kafir yang terbunuh kepada pasukan muslim yang berhasil
membunuhnya dan pengakuan Nabi SAW terhadap sahabat Khalid bin Walid RA.
yang memakan biawak.
Sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan tidak
dihadapan (majlis) Nabi SAW. namun terjadi atas sepengetahuan Nabi SAW.
mengetahui dan tidak pula mengingkarinya maka memiliki kedudukan hukum
yang sama dengan pekerjaan atau perkataan yang dilakukan dihadapan Nabi
SAW. Seperti pengetahuan Nabi SAW. Dengan sahabat Abu Bakr RA. yang
pada saat murka bersumpah untuk tidak makan, namun kemudian melanggar
sumpahnya sendiri setelah meyakini adanya kebaikan dalam makan, yakni
menjaga kesehatan tubuh
berdasarkan contoh dan keterangan diatas
dapat ditarik kesimpulan diperbolehkannya melanggar sumpah, bahkan
disunatkan untuk melanggar sumpah ketika hal itu mengandung sesuatu yang
lebih baik.
Pembahasan Ke - 11
IJMA'
Ijma'
menurut bahasa adalah kesepakatan atau konsensus. Sedangkan menurut
pengertian istilah, Ijma berarti kesepakatan umat islam setelah wafatnya
Nabi SAW. pada suatu masa terhadap satu dari beberapa perkara atau
permasalahan. Ijma' menurut jumhur ulama' adalah hujjah. Hal ini
didasarkan pada sabda Nabi SAW.:
لا تجتمع امتي غلى الضلالة ويد الله على الجماعة " اخرجه الترمذي"
Artinya: “Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Pertolongan Allah atas jamaah.”
Ijma'
bisa atau sah terjadi dengan ucapan sebagian ulama' dan perbuatan
sebagian yang lain, tersiarnya kabar mengenai perkataan atau perbuatan
tersebut. Adapun sikap diamnya sebagian ulama' yang lain terhadap
terjadinya kesepakatan itu disebut dengan ijma’ sukutiy. Para ulama'
telah bersepakat bahwa sesuatu yang biasa keluar dari dubur (anus) dan
qubul (kelamin) yaitu kencing dan buang air besar adalah membatalkan
wudhu.
Perlu juga diketahui bahwa imam Syafi'i RA. telah menetapkan
qiyas dan hadits ahadd untuk kegiatan penetapan (istinbat) hukum,
sebagaimana telah dilakukan oleh sebagian sahabat dan tanpa adanya
pengingkaran dari sahabat yang lain. Dengan demikian, hal ini juga
dinamakan ijma' sukutiy.
Pembahasan Ke - 12
QIYAS
Qiyas adalah hujjah. Allah SWT. berfirman QS. al-Hasyr (59):2.
Artinya: “…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Al-Qiyas
(القياس) menurut bahasa adalah mengukur atau memperkirakan sesuatu
atas sesuatu yang lain untuk mengetahui persamaan diantara keduanya,
seperti mengukur pakaian dengan lengan. Sedangkan menurut istilah,
qiyas berarti mengembalikan hukum cabang (far') kepada hukum asal
karena adanya ‘illat (alasan) yang mempertemukan keduanya dalam hukum.
Seperti menqiaskan beras terhadap gandum dalam harta ribawiy dengan
titik temu berupa keduanya sama-sama makanan pokok.
Rukun Qiyas ada empat yaitu:
1) far',
2) asal,
3) hukum asal, dan
4) illat hukum asal.
Macam-macam qiyas, di bagi menjadi tiga:
a. Qiyas al-illat
Yaitu
sesuatu yang illat didalamnya menetapkan hukum. Seperti menqiyaskan
memukul dengan ucapan yang tercela kepada kedua orang tua dalam
keharamannya dengan alasan menyakitkan hati orang tua. Allah berfirman
QS. Al-Isra' (17):23.
Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "Ah".”
b. Qiyas al-dilalah
Yaitu
sesuatu yang illat didalamnya menunjukkan pada hukum akan tetapi illat
tersebut tidak menetapkan pada hukum. Seperti menqiyaskan harta anak
kecil dengan harta orang dewasa dalam kewajiban zakat dengan adanya
titik temu bahwa harta anak kecil termasuk harta yang sempurna (al-mãl
al-tãmm). Boleh juga mengatakan tidak wajib zakat -seperti yang
dikatakan Abu Hanifah- dengan menqiyaskan pada haji yang mana, haji
wajib bagi orang dewasa adapun anak kecil tidak wajib untuk haji.
c. Qiyas al-syibh
Yaitu
mempersamakan hukum cabang (far') yang masih diragukan antara dua asal
dengan mengambil keserupaan yang lebih banyak dari asal tersebut.
Contohnya dalam pembahasan budak yang dibunuh, apakah sipembunuh wajib
dikenai hukum qishas karena budak juga termasuk manusia, ataukah cukup
hanya dengan membayar ganti rugi dengan alasan adanya keserupaan budak
dengan binatang, bahwa budak adalah harta. Dalam hal ini budak lebih
banyak keserupaannya dengan binatang (harta) sebab, budak bisa
diperjual-belikan, diwariskan, dan diwakafkan.
Pembahasan Ke - 13
IJTIHAD, ITTIBA' DAN TAQLID
Ijtihad
ialah mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara'
dengan jalan menyandarkan hukum (istinbath) kepada al-Quran dan
al-Sunah. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan mujtahid.
Ittiba' adalah menerima ucapan orang lain serta mengetahui sumbernya, dan orang yang melakukan ittiba’ disebut dengan muttabi'.
Taqlid adalah menerima ucapan seseorang tanpa mengetahui dasarnya, dan orang yang melakukan taqlid disebut dengan muqollid.
Ijtihad
dalam permasalahan agama sangat dibutuhkan. Begitupun dengan ittiba'.
Sedangkan taklid dalam agama dianggap sebagai suatu pekerjaan yang
hina, karena berdampak lebih jauh terhadap kemunduran umat.
Dalil-dalil untuk ketentuan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
QS. al-Ankabut (2): 69.
Artinya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-
benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Hadist Nabi SAW. :
اذا حَكمَ الحاكمُ فاجتهدَ فاصاب فله اَجْرانِ اذا حَكمَ فاجتهدَ فَاخْطأ فله اجرٌ واحدٌ "رواه البخارى و مسلم"
Artinya:
“Jika seorang hakim membuat keputusan (menghukumi) dengan berijtihad
kemudian benar, maka baginya dua pahala, jika menghukumi dengan
berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala." (HR. Bukhari
dan Muslim).
QS. al-A'raf (7): 3.
Artinya
: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya).”
QS. al-Maidah (5): 104.
Artinya:
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang
diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk
kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah
mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat
petunjuk?.”
QS. al-Zukhruf (43): 22.
Artinya:
“Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat
petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".”
BAGIAN KEDUA
QOWA'ID AL-FIQH
Sabda Rasulullah SAW. :
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى رواه البخارى
Artinya: “Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa yang telah diniatkan.” (HR. Bukhari).
Kaidah ke-1
الامور بمقاصدها
Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.
Contoh kaidah:
1. Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa.
2.
Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapann seorang
suami kepada istrinya: انت خالية (engkau adalah wanita yang terasing).
Jika suami bertujuan menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka
jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika ia tidak berniat menceraikan
maka tidak jatuh talak-nya.
Kaidah ke-2
ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل
Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal.
Contoh kaidah:
1. Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah.
2. Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat qatl (pembunuhan).
Kaidah ke-3
ما يشترط التعرض له خملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا
اذا عينه واخطأ ضرَّ
Sesuatu
yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan
penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara
rinci membahayakan.
Contoh kaidah :
Seseorang yang bernama
Gandung S.P. Towo niat berjamaah kepada seorang imam bernama mbah
Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief
tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin),
maka shalat Gandung tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan
mbah Arief yang berarti telah menafikan mengikuti Seger. Perlu
diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya disyaratkan niat berjamaah
tanpa adanya kewajiban menentukan siapa imamnya.
Kaidah ke-4
ما لا يشترط التعرض له خملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر
Sesuatu
yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci
ketika dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
Contoh kaidah :
Kesalahan
dalam menentukan tempat shalat. Seperti mbah Muntaha (pengelolah
kantin Asyiq) niat shalat di Kemranggen Bruno Purworejo, padahal saat
itu dia berada di Simpar (suatu daerah yang di Kecamatan Kalibawang
Wonosobo). Maka shalat mbah Muntaha tidak batal karena sudah adanya
niat. sedangkan menentukan tempat shalat tidak ada hubungannya dengan
niat baik secara globlal atau terperinci (tafshil).
Kaidah ke-5
مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh kaidah :
1.
Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Babadsari
Kutowinangun Kebumen). Teman kita yang satu ini konon katanya mempunyai
seorang istri bernama Tholiq dan seorang budak perempuan bernama
Hurrah. Suatu saat, Temon berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa Hurrah. Jika
dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon bermaksud menceraikan istrinya, maka
jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika hanya bertujuan memanggil
nama istrinya, maka tidak jatuh talaknya. Begitu juga dengan ucapan
“Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon bertujuan memerdekakan, maka
budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka. Sebaliknya jika ia hanya
bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.
2.
Menambahkan lafal masyiah (insya Allah) dalam niat shalat dengan tujuan
menggantungkan shalatnya kepada kehendak Allah SWT. maka batal
shalatnya. Namun apabila hanya berniat tabarru’ maka tidak batal
shalatnya, atau dengan menambahkan masyiah dengan tanpa adanya tujuan
apapun, maka menurut pendapat yang sahih, shalatnya menjadi batal.
Kaidah ke-6
اليقين لا يزال بالشك
Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.
Contoh kaidah :
1.
Seorang bernama Doel Fatah ragu, apakah baru tiga atau sudah empat
rakaat shalatnya? maka, Doel Fatah harus menetapkan yang tiga rakaat
karena itulah yang diyakini.
2. Santri bernama Maid baru saja
mengambil air wudhu di kolam depan komplek A PP. Putra An-Nawawi.
Kemudian timbul keraguan dalam hatinya; "batal durung yo..? kayane aku
nembe demek..." maka hukum thaharah-nya tidak hilang disebabkan keraguan
yang muncul kemudian.
3. seseorang meyakini telah berhadats dan
kemudian ragu apakah sudah bersuci atau belum, maka orang tersebut masih
belum suci (muhdits).
Dibawah ini ialah kaidah yang esensinya senada dengan kaidah di atas:
ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين
Sesuatu yang tetap dengan keyakinan, maka tidak bisa dihilangkan kecuali dengan adanya keyakinan yang lain.
Kaidah ke-7
الاصل بقاء ما كان على ما كان
Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.
Contoh kaidah :
1.
Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya
fajar maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya
masih tetap malam (al-aslu baqa-u al-lail).
2. Seseorang yang makan
(berbuka) pada penghujung siang tanpa berijtihad terlebih dahulu dan
kemudian ragu apakah matahari telah terbenam atau belum, maka puasanya
batal. Karena asalnya adalah tetapnya siang (al-ashl baqa-u al-nahr).
Kaidah ke-8
الاصل براة الذمة
hukum asal adalah tidak adanya tanggungan.
Contoh kaidah:
Seorang
yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa
ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai
hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung
jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa
(mudda’i).
Kaidah ke-9
الاصل العدم
Hukum asal adalah ketiadaan
Contoh kaidah :
1.
Kang Khumaidi mengadakan kerjasama bagi hasil (mudharabah) dengan Bos
Fahmi. Dalam kerjasama ini Kang Khumaidi bertindak sebagai pengelola
usaha (al-'amil), sedangkan Bos Fahmi adalah pemodal atau investornya.
Pada saat akhir perjanjian, Kang Khumaidi melaporkan kepada Bos Fahmi
bahwa usahanya tidak mendapat untung. Hal ini diingkari Bos Fahmi. Dalam
kasus ini, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang Bruna yang bernama
Kang Khumaidi, karena pada dasarnya memang tidak adanya tambahan
(laba).
2. Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah).
Kaidah ke-10
الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه
Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya.
Contoh kaidah :
1.
Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga
cerewet, maka tanpa pikir panjang Ipin -cah Jiwan Wonosobo- memukul
perut si wanita hamil tersebut. Selang beberapa waktu si wanita
melahirkan seorang bayi dalam keadaan sehat. Kemudian tanpa diduga-duga,
entah karena apa si jabang bayi yang imut yang baru beberapa hari
dilahirkan mendadak saja mati. Dalam kasus ini, Ipin tidak dikenai
tanggungan (dhaman) karena kematian jabang bayi tersebut adalah
disebabkan faktor lain yang masanya lebih dekat dibanding pemukulan Ipin
terhadap wanita tersebut.
2. Seorang santri kelas II MDU bernama
Soekabul alias Kabul Khan ditanya oleh teman sekamarnya; “Kang Kabul,
aku melihat sperma di bajuku, tapi aku tidak ingat kapan aku mimpi
basah. Gimana solusinya, Kang?”. Dengan PD-nya, karena baru saja
menemukan kaidah “al-aslu fi kulli wahidin taqdiruhu bi-aqrobi zamanihi”
saat muthala’ah Kitab Mabadi' Awwaliyah, santri yang demen banget
lagu-lagu Hindia ini spontan menjawab; “Siro -red: kamu- wajib mandi
besar dan mengulang shalat mulai sejak terakhir kamu bangun tidur sampai
sekarang.”
Kaidah ke-11
المشقة تجلب التيسر
Kesulitan akan menarik kepada kemudahan.
Contoh kaidah :
1.
Seorang bernama Godril yang sedang sakit parah merasa kesulitan untuk
berdiri ketika shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan
duduk. Begitu juga ketika ia merasa kesulitan shalat dengan duduk, maka
diperbolehkan melakukan shalat dengan tidur terlentang.
2.
Seseorang yang karena sesuatu hal, sakit parah misalnya, merasa
kesulitan untuk menggunakan air dalam berwudhu, maka ia diperbolehkan
bertayamum.
3. Pendapat Imam Syafi'i tentang diperbolehkannya
seorang wanita yang bepergian tanpa didampingi wali untuk menyerahkan
perkaranya kepada laki-laki lain”.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain:
Perkataan Imam al-Syafi'i:
الامر اذا ضاق اتسع
Sesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan).
Perkataan sebagian ulama:
الاشياء اذا ضاقت اتسع
Ketika keadaan menjadisempit maka hukumnya menjadi luas.
Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 185.
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
KERINGANAN HUKUM SYARA’
Keringanan hukum syara’ (takhfifat al-syar'i), meliputi 7 macam, yaitu:
1.
Takhfif Isqat, yaitu keringanan dengan menggugurkan. Seperti
menggugurkan kewajiban menunaikan ibadah haji, umrah dan shalat jumat
karena adanya 'uzdur (halangan).
2. Takhfif Tanqis, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya menqashar shalat.
3.
Takhfif Ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti
wudhu dan mandi dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang
dan memberi isyarat dalam shalat dan mengganti puasa dengan memberi
makanan.
4. Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan
waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat jama' taqdim, mendahulukan zakat
sebelum khaul (satu tahun), mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir
Ramadhan.
5. Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan
waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat jama' ta’khir, mengakhirkan
puasa Ramadhan bagi yang sakit dan orang dalam perjalanan dan
mengakhirkan shalat karena menolong orang yang tenggelam.
6. Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan Seperti diperbolehkannya menggunakan khamr (arak) untuk berobat.
7. Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan shalat dalam keadaan takut (khauf).
Kaidah ke-12
الاشياء اذا اتسع ضاقت
Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh kaidah :
Sedikit
gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi,
sedangkan banyak bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
Dari dua kaidah sebelumnya (kaidah ke-11 dan ke-12) Al-Gazali membuat sintesa (perpaduan) menjadi satu kaidah berikut ini:
كل ما تجوز حده انعكس الى ضده
Setiap sesuatu yang melampaui batas kewajaran memiliki hukum sebaliknya.
Kaidah ke-13
الضرر يزال
Bahaya harus dihilangkan.
Contoh kaidah:
1. Diperbolehkan bagi seorang pembeli memilih (khiyar) karena adanya 'aib (cacat) pada barang yang dijual.
2. Diperbolehkannya merusak pernikahan (faskh al-nikah) bagi laki-laki dan perempuan karena adanya 'aib.
Kaidah ke-14
الضررلا يزال بالضرر
Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya.
Contoh kaidah:
Mbah
Yoto dan Lutfi adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat
membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Mbah Yoto, saking tidak
tahannya menahan lapar nekat mengambil getuk Asminah (asli produk
gintungan) kepunyaan Lutfi yang kebetulan dibeli sebelumnya di warung
Syarof CS. Tindakan mbah Yoto -walaupun dalam keadaan yang sangat
menghawatirkan baginya- tidak bisa dibenarkan karena Lutfi juga
mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.
Kaidah ke-15
الضرورات تبيح المحظورات
Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Contoh kaidah:
1.
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi,
ditengah-tengah hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh
segerombolan begal, semua bekal Rahman ludes dirampas oleh mereka yang
tak berperasaan -sayangnya Rahman tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir
al-Jailany yang bisa menyadarkan para begal- karenanya mereka pergi
tanpa memperdulikan nasib Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa
kelaparan dan dia tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak
ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan Rahman seekor babi dengan
bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya seakan-akan mengejek
si-Rahman yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang juga nasib si
babi hutan itu. Rahman bertindak sigap dengan melempar babi tersebut
dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir
panjang, Rahman langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan
dagingnya untuk sekedar mengobati rasa lapar.
Tindakan Rahman
memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan.
Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
2. Diperbolehkan melafazdkan kalimat kufur karena terpaksa.
Kaidah lain yang kandungan maknanya sama adalah kaidah berikut:
لا حرام مع الضرورة ولا كراهة مع الحاجة
Tidak ada kata haram dalam kondisi darurat dan tidak ada kata makruh
ketika ada hajat
Kaidah ke-16
ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan kadar daruratnya.
Contoh kaidah:
1.
Dengan melihat contoh pertama pada kaidah sebelumnya, berarti Rahman
yang dalam kondisi darurat hanya diperbolehkan memakan daging babi
tangkapannya itu sekira cukup untuk menolong dirinya agar bisa terus
menghirup udara dunia. selebihnya (melebihi kadar kecukupan dengan
ketentuan tersebut) tidak diperbolehkan.
2. Sulitnya shalat jumat
untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh dilaksanakan
pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak
diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat.
Kaidah ke-17
الحجة قد تنزل منزلة الضرورة
Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat.
Contoh kaidah:
1. Diperbolehkannya Ji'alah (sayembara berhadiah) dan Hiwalah (pemindahan hutang piutang) karena sudah menjadi kebutuhan umum.
2. Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam muamalah atau karena khithbah (lamaran).
Kaidah ke-18
اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
Ketika
dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan) maka tinggalkanlah mafsadah
yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan.
Contoh kaidah:
1. Diperbolehkannya membedah perut wanita (hamil) yang mati jika bayi yang dikandungnya diharapkan masih hidup.
2.
Tidak perbolehkannya minum khamr dan berjudi karena bahaya yang
ditimbulkannya lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil.
3.
Disyariatkan hukum qishas, had dan menbunuh begal, karena manfaatnya
(timbulnya rasa aman bagi masyarakat) lebih besar daripada bahayanya.
4.
Diperbolehkannya seorang yang bernama Junaidi yang kelaparan, padahal
ia tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan, untuk mengambil
makanan Eko Setello yang tidak lapar dengan sedikit paksaan.
Kaidah ke-19
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.
Contoh kaidah:
1.
Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan
sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa
karena untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
2.
Meresapkan air kesela-sela rambut saat membasuh kepala dalam bersuci
merupakan sesuatu yang disunatkan, namun makruh dilakukan oleh orang
yang sedang ihram karena untuk menjaga agar rambutnya agar tidak rontok.
Kaidah ke-20
الاصل فى الابضاع التحريم
Hukum asal farji adalah haram.
Contoh kaidah:
1.
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya
dalam sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi
saudara perempuan tersebut dilarang melakukan ijtihad untuk memilih
salah satu dari mereka menjadi istrinya. Termasuk dalam persyaratan
ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga oleh karenanya perlu
diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan jumlah
perempuan yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama saudara
perempuannya yang haram dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika
jumlah perempuan itu banyak dan tidak dapat dihitung, maka terdapat
kemurahan, sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup dan
pintu terbukanya kesempatan berbuat zina.
2. Seseorang mewakilkan
(al-muwakkil) kepada orang lain untuk membeli jariyah (budak perempuan)
dengan menyebut cirri-cirinya. Ternyata, sebelum sempat menyerahkan
jariyah yang dibelinya tersebut, orang yang telah mewakili (wakil)
tersebut meninggal. Maka sebelum ada penjelasan yang menghalalkan,
jariyah itu belum halal bagi muwakkil karena walaupun memiliki
cirri-ciri yang disebutkannya, dikhawatirkan wakil membeli jariyah untuk
dirinya sendiri.
Allah SWT. berfirman QS. Al-Mukminun (23) 5-7.
Artinya: “Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal
Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Lebih jelasnya sesuai
dengan ayat quran tersebut bahwa seorang budak halal bagi tuannya tetapi
berhubung belum ada indikasi yang jelas mengenai kehalalannya
sebagaimana contoh di atas maka budak tersebut belum halal bagi muwakkil
(orang yang mewakilkan).
Kaidah ke-21
العادة محكمة
Adat bisa dijadikan sandaran hukum.
Contoh kaidah:
1.
Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang
dikehendaki, maka berlaku harga dan maat uang yang umum dipakai.
2. Batasan sedikit, banyak dan umumnya waktu haidh, nifas dan suci bergantung pada kebiasaan (adapt perempuan sendiri).
Kaidah ke-22
ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة
يرجع فيه الى العرف
Sesuatu
yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi
didalamnya dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya
dikembalikan kepada kebiasaan (al-"urf) yang berlaku.
Contoh kaidah :
1. Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut.
Terkait
dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat
niat di dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan
panjang lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat shalat…………rakaaat”.
itu sudah di anggap cukup.
2. Jual beli dengan meletakan uang tanpa
adanya ijab qobul, menurut syara’ adalah tidak sah. Dan menjadi sah,
kalau hal itu sudah menjadi kebiyasaan.
Kaidah ke-23
الاجتهاد لا ينقد بالاجتهاد
Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.
Contoh kaidah:
1.
Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama
dengan ijtihat ke dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad
pertama tetap sah sehingga tidak memerlukan pengulangan pada rakaat
yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan demikian, seseorang
mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan menghadap arah yang
berbeda pada setiap rakaatnya.
2. Ketika seorang hakim berijtihad
untuk memutuskan hukum suatu perkara, kemudian ijtihadnya berubah dari
ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap sah (tidak rusak).
Kaidah ke-24
الاء يثار بالعبادة ممنوع
Mendahulukan orang lain dalam beribibadah adalah dilarang.
Contoh kaidah:
1. Mendahulukan orang lain atau menempati shaf awal (barisan depan) dalam shalat.
2.
Mendahulukan orang lain untuk menutup aurat dan menggunakan air wudhu.
Artinya, ketika kita hanya memiliki sehelai kain untuk menutup aurat,
sedangkan teman kita juga membutuhkannya, maka kita tidak boleh
memberikan kain itu kepadanya karena akan menyebabkan aurat kita
terbuka. Begitu pula dengan air yang akan kita gunakan untuk bersuci,
maka kita tidak boleh menggunakan air tersebut. Karena hal ini berkaitan
dengan ibadah.
Firman Allah SWT dalam Qs. Al-Baqarah (2):148.
Artinya: …Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…
Kaidah ke-25
الاء يثار بغيرالعبادة مطلوب
Mendahulukan orang lain dalam selain ibadah dianjurkan.
Contoh kaidah:
1. Mendahulukan orang dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
2. Mendahulukan orang lain untuk memilih pakaian.
3. Mempersilahkan orang lain untuk makanan lebih dulu.
Firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Hasr (59):9.
Artinya:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka
(Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka Itulah orang orang yang beruntung.”
Kaidah ke-26
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dlakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.
Contoh kaidah:
1.
Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak
(mustahiq) dengan cara membeda-bedakan diantara orang-orang yang tingkat
kebutuhannya sama.
2. Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya
tidak mengankat seorang fasiq menjadi imam shalat. Karena walaupun
shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang baik (makruh).
3.
Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta baitul mal
kepada seorang yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang
lebih membutuhkan.
Rasulullah SAW. bersabda :
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته
Artinya
: “Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dsari kalian
akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan”.
Kaidah ke-27
الحدود تسقط بالشبهات
Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat.
Contoh kaidah:
1.
Seorang laki-laki tidak dikenai had, ketika melakukan hubungan seksual
dengan wanita lain yang disangka istrinya (wathi syubhat).
2.
Seseorang melakukan hubungan seks dalam nikah mut'ah, nikah tanpa wali
atau saksi atau setiap pernikahan yang dipertentangkan, tidak dapat
dikenai had sebab masih adanya perbedaan pendapat antara ulama, sebagian
membolehkan nikah mut'ah dan nikah tanpa wali dan sebagian lagi
berpendapat sebalikannya.
3. Orang mencuri barang yang disangka
sebagai miliknya, atau milik bapaknya, atau milik anaknya, maka orang
tersebut tidak dikenai had.
4. Orang meminum khamr (arah) untuk berobat tidak dikenai had karena masih terdapat khilaf antar ulama'.
قال النبي صلى الله عليه وسلم : ادرؤا الحدود بالشبهات
Artinya: Nabi SAW. bersabda: Tinggalkanlah oleh kamu sekalian had-had dikarenakan (adanya) berbagai ketidak jelasan.
Kaidah ke-28
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya,maka hukumnya wajib.
Contoh Kaidah:
1. Wajib membasuh bagian leher dan kepala pada saat membasuh wajah saat berwudhu.
2. Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis (wentis) pada saat membasuh lengan dan kaki.
3.
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki
dan wajibnya dan wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.
Kaidah ke-29
الخروج من الخلاف مستحبٌّ
Keluar dari perbedaan pendapat hukumnya sunat (mustahab).
Contoh kaidah:
1.
Disunatkan menggosok badan (dalk) ketika bersuci dan memeratakan air
ke kepala dengan mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilafdengan
imam malik berpendapat bahwa dalk dan isti'ab al-ro'sy (meneteskan
kepala dengan air) adalah wajib hukumnya.
2. Disunatkan membasuh sperma, yang menurut imam malik wajib hukumnya.
3.
Sunah men-qashar shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah,
karena keluar dari khilaf dengan Abu hanifah yang mewajibkannya.
4.
Disunatkan untuk tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat ketika
membuang hajat, walaupun dalam sebuah ruangan atau adanya penutup,
karena untuk keluar dari khilaf imam Tsaury yang mewajibkannya.
Untuk mengatasi perbedaan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:
a.
Upaya mengatasi perbedaan tidak menyebabkan jatuh pada perbedaan lain.
Seperti lebih diutamakan memisahkan shalat witir (tiga rakaat dengan
dua salam) dari pada melanjutkanya. Dalam hal ini pendapat Imam Abu
Hanafiah tidak dipertimbangkan karena adanya ulama yang tidak
membolehkan witir dengan digabungkan
b. Tidak bertentangan dengan
sannah yang tepat (al-sannah al-tsabilah). Seperti disunatkannya
mengangkat kedua tangan dalam shalat, walaupun seorang ulama Hanafiah
menganggap hal ini dapat membatalkan shalat. Menurut riwayat lima puluh
orang sahabat, Nabi SAW sendiri melakukan shalat dengan mengangkat
kedua tangannya.
c. Kautnya temuan tentang bukti perbedaan, sehingga
kecil kemungkinan terulangnya keslahan serupa. Dengan alas an itu,
maka berpuasa bagi musafir yang mampu menahan lapar dan dahaga aladah
utama, dan tidak dipertimbangkan adanya pendapat para kaum Zahiruasa
musafir itu tidak sah.
Kaidah ke-30
الرخصة لاتناط بالمعاصى
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.
Contoh kaidah:
1.
Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan
hukum karena berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan
membatalkan puasa.
2. Orang yang berpergian karena maksiat,
walaupun dalam kondisi terpaksa juga tidak diperbolehkan memakan
bangkai dan daging babi.
Kaidah ke-31
الرخصة لاتناط بالشكّ
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan keraguan.
Contoh kaidah:
1.
Dalam perjalanan pulang ke Grabag Magelang, Abdul Aziz merasa ragu
mengenai jauh jarak yang ditempuh dalam perjalan tersebut, apakah sudah
memenuhi syarat untuk meng-qashar shalat atau belum. Dalam kondisi
semacam ini, kang Aziz tidak boleh meng-qashar shalat.
2. Seorang
yang bimbang apakah dirinya hadats pada waktu dhuhur atau ashar, maka
yang harus diyakini adalah hadats pada waktu dhuhur.
Kaidah ke-32
ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
Sesuatuyang banyak aktifitasnya, maka banyak pula keutamaanya.
Contoh kaidah:
1.
Shalat witir dengan fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama
dari pada wasl (tiga rakaat dengan satu salam) karena bertambahnya
niat,takbir dan salam.
2. Orang melakulan shalat sunah dengan duduk,
maka pahalanya setengan dari pahala orang yang shalat sambil berdiri.
Orang yang shalat tidur mirung, maka pahalanya adalah setengah dari
orang yangh shalat dengan duduk.
3. Memishkan pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih utama dari pada melaksanakan bersama-sama.
Rasulullah SAW. bersabda:
اجرك على قدر نصبك رواه مسلم
Artinya: “Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu. (HR. Muslim)
Kaidah ke-33
ما لا يدرك كله لا يترك كله
Jika tidak mampu mengerjakan secara keseluruhan
maka tidak boleh meninggalkan semuanya
Contoh kaidah:
1. Seorang yang tidak mampu berbuat kebajikan dengan satu dinar tetapi mampu dengan dirham maka lakukanlah.
2.
Seserang yang tidak mampu untuk mengajar atau belajar berbagai bidang
studi (fan) sekaligus, maka tidak boleh meninggalkan keseluruhannya.
3. Seseorang yang merasa berat untuk melakukan shalat malam sebanyak sepuluh rakaat, maka lakukanlah shalat malam empat rakaat.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, adalah perkataan ulama ahli fiqh:
ما لا يدرك كله لا يترك بعضه
Sesuatu yang tidak dapat ditemukan keseluruhannya, maka tidak boleh tinggalkan sebagiannya.
Kaidah ke-34
الميسور لا يسقط بالمعسور
Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit.
Contoh kaidah:
1. Seorang yang terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya membasuh anggota badan yang tersisah ketika bersuci.
2. Seseorang yang mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutup aurat berdasarkan kemampuannya tersebut.
3. Orang yang mampu membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia wajib membaca sebagian yang ia ketahui tersebut.
4.
Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada
ditempat jauh (ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta
yang berada ditangannya.
Nabi SAW. bersabda :
وما امرتكم به فأتوا منه ما استطعتم. رواه شيخان
Artinya: “Sesuatu yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari Muslim)
Kaidah ke-35
ما حرم فعله حرم طلبه
Sesuatu yang haram untuk dikerjakan maka haram pula mencarinya.
Contoh kaidah:
1. Mengambil riba atau upah perbuatan jahat.
2. Mengambil upah dari tukang ramal risywah (suapan). Begitu pula dengan upah orang-orang yang meratapi kematian orang lain.
Kaidah ke-36
ما حرم اخذه حرم اعطاؤه
Sesuatu yang haram diambil,maka haram pula memberikannya.
Contoh kaidah :
1. Memberikan riba atau upah perbuatan jahat kepada orang lain.
2. Memberikan upah hasil meramal dan risywah kepada orang lain. Termasuk juga upah meratapi kematian orang lain.
Kaidah ke-37
الخير المتعدي افضل من القاصر
kebaikan yang memiliki dampak banyak lebih utama daripada yang manfaatnya sedikit (terbatas).
Contoh kaidah:
1. Mengajarkan ilmu lebih utama daripada shalat sunah.
2.
Orang yang menjalankan fardhu kifayah lebih istimewa karena telah
menggugurkan dosa umat daripada orang yang melakukan fardhu 'ain.
Kaidah ke-38
الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه
Rela akan sesuatu berarti rela dengan konsekuensinya.
Contoh kaidah:
1. Menerima suami istri dengan kekurangan yang dimiliki salah satu dari keduanya. Maka tidak boleh mengembalikan kepada walinya.
2.
Seseorang memita tangannya di potong dan berakibat kepada rusaknya
anggota tubuh yang lain, maka orang tersebut tidak boleh menuntut kepada
pemotong tangan.
3. Memakai wangi-wangian sebelum melaksanankan ihram, teapi wanginya bertahan sampai waktu ihram maka tidak dikenahi fidyah.
Kaidah yang memiliki makna sama dengan kaidah di atas yaitu :
المتولد من مأذون لا اثر له
Hal-hal yang timbul dari sesuatu yang telah mendapat ijin
tidak memiliki dampak apapun.
Kaidah ke-39
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaannya’illatnya.
Contoh kaidah :
1.
Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika
kemudian terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang
telah berubah menjadi cuka maka halal.
2. Memasuki rumah orang lain
atau memakai pakaiannya tanpa adanya ijin adalah haram hukumnya. Namun
ketika namun ketika diketahui bahwa pemiliknya merelakan, maka tidak
ada masalah didalamnya (boleh).
3. Alasan diharamkannya minum racun
karena adanya unsur merusakkan. Andaikata unsure yang merusakkan itu
hilang, maka hukumnya menjadi boleh.
قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مشكر خمر وكل خمر حرام
Nabi SAW. bersabda: Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram.
Kaidah ke-40
الاصل فى الآ شياء الاءباحة
Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan.
Contoh kaidah :
1.
Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke Jakarta.
Setelah lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut kedua
bocah ndeso tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan.
Akhirnya setelah melihat isi dompet masing-masing keduanya memutuskan
untuk mampir makan di restourant yang lumayan mewah tapi kemudian
keduanya ragu apakah daging pesenannya itu halal atau haram. Dengan
mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging itu boleh dimakan.
2.
Tiba-tiba ada seekor merpati yang masuk ke dalam sangkar burung milik
Koci. ketika pemilik sangkar (Koci) melihat merpati tersebut dia merasa
tertarik dan ingin memilikinya, namun Koci masih ragu apakah dia boleh
memeliharanya atau tidak. Maka hukumnya burung merpati tersebut boleh
atau bebas untuk dimiliki.
3. Ketika ragu akan besar kecilnya kadar
emas yang digunakan untuk menambal suatu benda maka hukum benda
tersebut boleh untuk digunakan.
4. Memakan daging Jerapah diperbolehkan, sebagaimana al-Syubki berkata sesungguhnya memakan daging Jerapah hukumnya mubah.
قال النبي صلى الله عليه وسلم ما احل الله فهو حلال وما حرم الله فهو حرام وما سكت عنه فهو مما عفو
Nabi
SAW. bersabda : Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal dan sesuatu
yang diharamkan Allah adalah haram. Sedangkan hal-hal yang tidak
dijelaskan Allah merupakan pengampunan dari-Nya.
TEAM TERJEMAH MABADI’ AL-AWALIYAH MDU II
PP. AN-NAWAWI BERJAN PURWOREJO